Rabu, 30 Juni 2010

AKHLAK YANG MULIA

"Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budipekerti yang mulia."(H.R.Ahmad)

Akhlak ataupun budipekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat syaitoniah, berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Menghindarkan diri dari sifat-sifat kecurangan, kerakusan dan kezaliman. Manusia yang berakhlak mulia, suka tolong menolong sesama insan dan makhluk lainnya. Mereka senang berkorban untuk kepentingan ersama.Yang kecil
hormat kepada yang tua,yang tua kasih kepada yang kecil.Manusia yang memiliki budi pekerti yang mulia, senang kepada kebenaran dan keadilan, toleransi, mematuhi janji, lapang dada dan tenang dalam menghadapi segala halangan dan rintangan.

Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke darjat yang tinggi dan mulia. Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya. Nabi s.a.w.bersabda yang bermaksud:

"Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya."(H.R.Ahmad)

Manusia yang paling baik akhlaknya ialah junjungan kita Nabi
s.a.w. sehingga budi pekerti beliau tercantum dalam al-Quran, Allah
berfirman yang maksudnya: "Sesungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang agung. "Sesuatu Ummat bagaimanapun hebat Kekuatan dan Kekayaan yang dimilikinya, akan tetapi jika budi pekertinya telah binasa, maka Ummat itu akan mudah binasa. Manusia yang tidak punya akhlak, mereka sanggup melakukan apa saja untuk kepentingan dirinya. Mereka sanggup berbohong, membuat fitnah, menjual marwah diri dan keluarga, malah dengan tidak segan silu lagi dia menjual Agama dan
Negaranya.


by okto profera wijonarko

Sabtu, 26 Juni 2010

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Allah SWT

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah
sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya,
pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta
yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam
kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini
mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita
bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.

Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah SWT adalah:

1.Taat terhadap perintah-perintah-Nya.

Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT,
adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia
tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada
dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda:
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani).

2.Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.

Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki
rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya,
kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang
mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu
merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR. Muslim)

3.Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.

Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha
terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika
ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak
mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena
pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap
apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa
keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
" sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap
sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik
justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki
kebaikan bagi diri kita.

4.Senantiasa bertaubat kepada-Nya.

Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan
lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika
kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat
kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :
"Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat
mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu
sedang mereka mengetahui."

5.Obsesinya adalah keridhaan ilahi.

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi
dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan
beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia.
Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus
mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
"Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka
Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan
kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya.
Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya
tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai
tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.

6.Merealisasikan ibadah kepada-Nya.

Etikaatau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT
adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat
mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada
hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya
merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah
tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan
sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat
ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hukum
Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan
oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.

7.Banyak membaca al-Qur’an.

Etikadan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah
dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan
firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak
dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT,
tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan
membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca
Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
mengatakan kepada kita:
"Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para
pembacanya." (HR. Muslim)
Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka
hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik.
Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka
Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits
lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Orang(mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan
bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mu’min yang membaca
Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan
mendapatkan pahala dua kali lipat." (HR. Bukhori Muslim)

By Okto Profera Wijonarko

Sabtu, 19 Juni 2010

Membangun Akhlakul Karimah

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.

by okto P.W

Rabu, 16 Juni 2010

Ibu Bapak sebagai sosok agung dalam Islam

Ibu dan bapak adalah orang yang paling berjasa pada kita, tidak ada seorang pun yang lebih dekat hubunganya dengan kita kecuali Ibu Dan Bapak.Ibu dan bapak sudah berusaha sekuat tenaga dan dengan susah payah sejak kita masih dalam kandungan hingga kita lahir dan dapat berdiri sendiri ( mandiri ) demi kebahagiaan anak – anaknya. Coba bayangkan selama sembilan bulan sepuluh hari ibu mengandung, badanya terasa capek dan lemah, sehingga kemampuan bekerjapun jadi berkurang.Ibu harus senantiasa berhati – hati agar janin yang akan menjadi bayi nantinya tidak terganggu, sehat selamat, sampai lahir kedunia.

Demikian pula dengan peran seorang bapak, dia sibuk mencari nafkah untuk anaknya tampa menghiraukan dan memperdulikan kesulitan dan rintangan pada dirinya dalam menjaga anak dan istrinya.Seorang bapak yang menjadi petani, bekerja keras dibawah panas dan teriknya matahari, seorang yang bekerja sebagai pedagang bekerja keras tampa mengenal lelah siang dan malam.Serta berbagai macam tugas dilakukan sang ayah untuk mendapatkan rezeki guna menghidupi keluarganya.Karena begitu besarnya pengorbanan dan perjuangan bapak ibu dalam merawat, mengasuh dan membesarkan kita sampai kta bisa hidup dalam kemandirian seperti saat sekarang ini.Maka sewajarnyalah kita sebagai anaknya menghormati serta mamuliakan beliau dalan keadaan dan situasi apapun.

Allah Swt memerintahkan agar manusia menyembah dan menyempurnakan ketaatan hanya padanya, setelah itu diikuti dengan berbuat baik pada kedua orang tua.Perintah itu tertuang dalam Qs Al Isra : 23 – 24.yang artinya :D an tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik – baiknya.Jika salah seorang dari keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan “ AH “.Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan yang baik, mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “ Wahai tuhanku kasihanilah mereka berdua sebagai mana mereka mengasihani akau diwaktu kecil dulu.

Berapapun besarnya balas budi yang kita berikan terhadap orang tua kita baik berupa materi maupu yang lainya belumlah dapat mengimbangi dari jasa – jasa mereka berdua pada kita.Cinta yang tulus, suci, murni hanya cinta dan kasih sayang orang tua pada anaknya.Walaupun masih ada diantara sebahagian orang yang suka membantah aturan – aturan yang dibuat orang tuanya, hampir setiap hari televisi, koran dan alat komunikasi lainya yang memberitakan berbagai macam tindakan kekerasan yang dilakukan laki – laki pada kaum perempuan, khususnya kekerasan yang dilakukan anak pada orang tuanya sendiri. Nauzubillah Min Zhalik.dengan alasan yang tidak jelas entah karena uang atau karena keinginan yang tak dapat dipenuhi oleh orang tua dan lain sebagainya.Padahal pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan orang tua pada dasarnya adalah untuk kebahagian sianak.Duka dan derita mereka terima dengan Ikhlas dan Sabar.Suka cita mereka limpahkan pada sang anak belahan jiwa ( Ubek jariah palarai damam ) dengan penuh kasih dan sayang yang besar.

Berbuat baik pada ibu bapak termasuk dalam perbuatan terpuji ( Akhlakul Karimah ) dan berbuat jahat pada mereka berdua termasuk perbuatan tercela ( Akhlakul Mazmumah ) yang balasanya adalah neraka jahanam.

by Okto Profera Wijonarko

Sabtu, 12 Juni 2010

Kamis, 10 Juni 2010

Akhlak Terhadap Guru

Yang dimaksud dengan guru ialah orang yang berjasa mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid. Dalam hal guru, bisa dibedakan antara guru pengajar dan guru pendidik. Pengajar adalah orang yang berjasa mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan pendidik adalah orang yang berjasa menanamkan pola tingkahlaku tertentu. Ukuran keberhasilan guru pengajar terletak pada kemampuannya mentransfer ilmu pengetahuan sehingga si murid menguasai ilmu yang diajarkan.

Penguasaan ilmu oleh si murid dapat diketahui melalui metode ujian atau test, dan tingkat penguasaannya dapat dituangkan dalam bentuk nilai 0-100 atau indek prestasi 0-4. Sedangkan ukuran keberhasilan guru pendidik dapat dilihat pada ketrampilan, kedisiplinan dan konsistensi tingkahlaku anak didik sepanjang hidupnya.
Kedudukan guru dan orang tua dari segi etik adalah sejajar. Orang tua berjasa membesarkan anak, sementara guru berjasa mengenalkan ilmu pengetahuan dan menanamkan pola tingkahlaku sehingga memungkinkan seseorang mengembangkan konsep dirinya beraktualisasi diri menjadi sosok manusia yang didambakan, baik oleh dirinya maupun oleh keluarganya atau bahkan oleh masyarakatnya. Peran orang tua dan peran guru bisa dilakukan oleh dua orang yang berbeda, bisa juga oleh orang yang sama. Maksudnya bisa terjadi seorang ayah atau ibu adalah juga seorang guru bagi anaknya, baik guru dalam bidang ilmu pengetahuan maupun guru dalam bidang kehidupan.

Dalam dunia persilatan, seorang guru atau suhu sangat dihormati dan dipatuhi, baik secara teknis maupun secara etis. Kepatuhan adalah sikap mental, oleh karena itu seorang guru tidak otomatis dipatuhi oleh muridnya, melainkan terlebih dahulu hams membuktikan "kelebihan" yang dimilikinya di mata murid.

Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat tiba-tiba menjadi pengajar dari suatu cabang ilmu pengetahuan, tetapi tidak untuk menjadi pendidik. Dari pengalaman penulis dalam dunia pendidikan menjadi guru di SD/SLP dan SLA, sepuluh tahun pertama penulis menjadi guru belum cukup mengantarnya menjadi pendidik. Baru pada tahun ke tigabelas, penulis merasa menjadi pendidik, bukan hanya sekedar menjadi pengajar.. Pusat perhatian seorang pengajar adalah pada transfer ilmu pengetahuan di kelas, dan kriterianya sudah diatur dalam metodologi pengajaran. Seorang pengajar merasa telah menyelesaikan tugasnya di kelas, dan apa yang terjadi di luar kelas merasa bukan menjadi bagian tugasnya. Oleh karena itu seorang pengajar pada umumnya hanya jengkel menghadapi problem murid, bukan memprihatinkannya.

Perasaan seorang pengajar kepada murid lebih terfokus pada konteks dirinya sebagai petugas, bukan pada kontek murid sebagai anak didik. Sedangkan pusat perhatian seorang pendidik adalah pada anak didik sebagai kesatuan pribadi manusia. Seorang pendidik akan sangat sedih jika melihat anak didiknya mengalami penurunan prestasi, dan is berusaha mencari akar permasalahannya, tak peduli apakah permasalahannya di kelas atau di luar kelas. Seorang pengajar akan dengan mudah tidak masuk kelas hanya karena merasa terganggu kesehatannya, tetapi seorang pendidik tetap akan berusaha hadir di kelas meski kesehatannya kurang mengizinkan.

Penulis, pada tahun ke tigabelas menjadi guru, baru merasa menjadi pendidik setelah bertemu dengan dua pengalaman:

Pertama: bergaul dengan seorang kepala sekolah yang sungguh sangat dedikatip dalam dunia pendidikan. Kepala Sekolah tersebut seorang yang sebenarnya berstatus sosial tinggi, tetapi perhatiannya kepada tugas kependidikannya sangat tinggi. Ia selalu menengok mu-rid yang sakit, menjenguk guru yang sakit, hadir dalam setiap undangan hajatan wali murid, satu hal yang bagi penulis pada mulanya sangat merepotkan, tetapi lama-kelamaan ikut menghayati makna tugas kependidikan secara konprehensip.

Kedua: setelah penulis berkenalan dengan tugas-tugas guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), atau Konseling pendidikan. Sebagai guru BP, penulis akhirnya mengetahui problem yang sebenarnya dari seorang murid sebagai anak manusia. Penulis menjumpai seorang murid yang sebenarnya cerdas, religius, tetapi terkadang tiba-tiba berperilaku aneh. Dari pendekatan yang selalu penulis lakukan akhirnya penulis tahu bahwa murid tersebut mengalami problem krisis identitas. la meragukan siapa jati dirinya setelah mengetahui dari guru biologinya bahwa dari golongan darah yang dimilikinya tak mungkin lahir dari dua orang yang selama ini dikenal sebagai ayah ibunya. Perasaan galau itu menjadi lebih dalam setelah memperoleh informasi dari rumah sakit bahwa pada tahun-tahun kelahiran dirinya pernah terjadi kasus bayi tertukar. Krisis identitas itu ternyata berakibat sangat serius dalam hubungan interpersonalnya dengan keluarganya, yang dampaknya melebar ke prestasi belajarnya, dan integritas dirinya. Kasus lain pernah penulis jumpai, seorang murid perempuan,

kelas tiga SLP sangat agresip kepada lelaki, termasuk kepada penulis. Penulis sering dibuat terkesima dan kikuk oleh agressifitas murid tersebut yang bernuansa seksual. Dari pendekatan yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa anak tersebut ditinggal mati ayahnya ketika umur dua tahun dan sejak itu ibunya hidup menjanda. Gadis kecil itu rupanya tumbuh dalam rumah tangga yang sangat memprihatinkan. Karena rumahnya yang sempit ia sering memergoki ibunya berhubungan intim dengan lelaki kekasihnya yang tidak pernah menikahinya. Gadis belia itu telah teracuni oleh pemandangan yang tidak semestinya, tetapi keadaan tidak membantu mencarikan jalan keluar. Gadis itu rajin mengaji dan rajin menjalankan salat, dan prestasi sekolahnya juga tidak terlalu mengecewakan, tetapi alam bawah sadarnya sering datang muncul dalam wujud perilaku agressip, bahkan terhadap guru lelakinya seperti yang dia lakukan kepada penulis.

Sebagai guru BP penulis bukan hanya berhubungan dengan mu-rid tetapi juga dengan orang tua dari murid yang bermasalah, oleh karena itu penulis banyak sekali berjumpa dengan problem-problem "kemanusiaan" atau problem manusiawi, menyangkut murid, orang tua murid (masyarakat) dan juga rekan guru. Sebagai manusia, penulis sering mengalami konflik batin dalam menangani kasus-kasus konseling, tetapi sebagai pendidik, keprihatinan seorang guru lebih dominan. Penulis sangat akrab dengan problem anak didik, begitu akrabnya hingga terkadang terjadi bias cinta, antara cinta seorang guru dan cinta seorang lelaki.

Pengalaman berhubungan dengan problem anak didik (dan masyarakat) itu mengantar penulis pada keindahan perasaan seorang guru, baik ketika berhasil membantu orang lain maupun ketika menerima penghormatan yang tulus dari murid-murid. Sebagai pendidik, penulis sangat tertantang oleh problem yang dihadapi oleh murid (dan orang tuanya), seperti gairahnya seorang petinju menemukan lawan tanding yang seimbang atau lebih. Penulis sangat terharu ketika mengetahui bahwa ada sejumlah murid, meski tidak berjumpa selama lebih dari duapuluh tahun tetapi masih sering menyebut nama penulis sebagai gurunya ketika ia menasehati anaknya atau muridnya.

Dalam tradisi Islam, akhlak seorang murid kepada guru diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya silaturrahmi secara berkala kepada guru, memperioritaskan sedekah atau infaq materiil kepada nya, memberi nama anaknya dengan nama guru, mohon nasehat dan doa restu kepada guru setiap mempunyai hajat stratetgis, sampai kepada mengirim fatihah dan menempatkan nama guru dalam susunan orang-orang yang tercatat dalam teks doa setiap ba'da salat atau pada event-event tertentu.
By Okto Profera Wijonarko

Bakti Kepada Orang Tua

Keutamaan Menjadi Anak yang Berbakti

1. Termasuk Amal yang Paling Allah Cintai

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.” Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Masuk Surga

Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka, celaka, dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri mengatakan sanadnya jayyid)

3. Panjang Umur dan Bertambah Rezeki

Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR. Turmudzi dan dihasankan oleh al-Albani)

Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad)

4. Semua Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni

Allah ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai, berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS al-Ahqaf: 15-16)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Adakah cara taubat yang bisa ku lakukan?” Nabi bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu.” “Tidak” jawabnya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki bibi dari pihak ibu.” “Ya,” jawabnya. Nabi bersabda, “Berbaktilah kepada bibimu.” (HR. Tirmidzi)

5. Mendapatkan Ridha Allah

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani)

6. Diterima Doanya dan Hilangnya Kesusahan

Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam goa. Salah satu diantaraa mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Lebih Utama Daripada Hijrah dan Jihad

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku hendak membaiatmu untuk berhijrah dan berjihad dalam rangka mengharap pahala dari Allah.” Nabi bertanya kepada keduanya, “Apakah diantara kedua orang tuamu ada yang masih hidup.” “Ya, kedua-duanya masih hidup.” Jawabnya. Nabi bertanya, “Engkau mengharap pahala dari Allah?” “Ya.” Jawabnya. Nabi bersabda, “Pulanglah, temui keduanya dan sikapilah keduanya dengan baik.” (HR. Muslim)

8. Orang Tua Ridha dan Mendoakan

Jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu keduanya akan senang, dan pertanda ridhanya kepadanya. Kemudian mendoakannya, sedangkan doa orang tua itu pasti terjawab.

Ada tiga orang yang doanya mustajab dan hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tiga orang tersebut adalah doa orang yang teraniaya. Doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua untuk kebaikan anaknya. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Abani)

9. Anak Kita Akan Berbakti Kepada Kita

Sikap bakti adalah hutang, maka sebagaimana kita berbakti kepada orang tua kita, maka anak kita pun akan berbakti kepada kita.

10. Tidak Akan Menyesal

Seorang anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya akan merasakan penyesalan ketika keduanya sudah meninggal dunia dan belum sempat berbakti.

11. Dipuji Banyak Orang

Bakti kepada kedua orang tua adalah sifat yang terpuji dan orang yang memiliki sifat ini pun akan mendapatkan pujian. Kisah Uwais al-Qorni adalah diantara dalil tentang hal ini.

12. Merupakan Sifat Para Nabi

Tentang Yahya ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Tentang Isa ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Tentang Ismail ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. ash-Shaffat: 102)

Rabu, 09 Juni 2010

Akhlaq Terhadap Orang Tua

Terdapat banyak ayat yang mendudukkan ridha orang tua setelah ridha Allah dan keutamaan berbakti kepada orang tua adalah sesudah keutamaan beriman kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Lukman: 14). Lihat pula QS. al-Isra 23-24, an-Nisa 36, al-An’am 151, al-Ankabut 08.

Ada lima kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya:

Pertama, tidak ada komentar yang tidak mengenakkan dikarenakan melihat atau tercium dari kedua orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan berharap pahala kepada Allah dengan hal tersebut, sebagaimana dulu keduanya bersabar terhadap bau-bau yang tidak enak yang muncul dari diri kita ketika kita masih kecil. Tidak ada rasa susah dan jemu terhadap orang tua sedikit pun.
Kedua, tidak menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.

Ketiga, mengucapkan ucapan yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya. Tidak memanggil keduanya langsung dengan namanya, tidak bersuara keras di hadapan keduanya. Tidak menajamkan pandangan kepada keduanya (melotot) akan tetapi hendaknya pandangan kita kepadanya adalah pandangan penuh kelembutan dan ketawadhuan. Allah berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra: 24)
Urwah mengatakan jika kedua orang tuamu melakukan sesuatu yang menimbulkan kemarahanmu, maka janganlah engkau menajamkan pandangan kepada keduanya. Karena tanda pertama kemarahan seseorang adalah pandangan tajam yang dia tujukan kepada orang yang dia marahi.

Keempat, berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang keduanya terhadap kita.

Kelima, bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya, dengan menaati keduanya selama tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya.

Perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua itu bersifat umum, mencakup hal-hal yang disukai oleh anak ataupun hal-hal yang tidak disukai oleh anak. Bahkan sampai-sampai al-Qur’an memberi wasiat kepada para anak agar berbakti kepada kedua orang tuanya meskipun mereka adalah orang-orang yang kafir.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15)

by okto profera wijonarko

PENGERTIAN AKHLAQ

Akhlaq ( الأَخْلاَقُ ) adalah bentuk jamak dari خُلُقٌ yang berarti “ suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang akan muncul darinya berbagai perbuatan yang dikehendakinya, yang baik maupun yang buruk.” Akhlaq yang terpuji adalah cerminan dari ‘aqidah atau keimanan yang benar, sebagaimana sabda Rosululloh saw :

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang bagus.” ( HSR. Ahmad )

Kebagusan akhlaq adalah barometer dari keimanan seseorang, sebagaimana sabda Rosululloh saw :

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaqnya.” ( HSR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi )

Sehingga kebagusan akhlaq ini sangat diperlukan untuk keselamatan di dunia dan di akhirat, bahkan Rosululloh saw pernah bersabda :

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan amal ( di akhirat ) daripada akhlaq yang bagus.” ( HSR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi )

AKHLAQ KEPADA ALLOH

Yang paling utama dan paling wajib untuk kita berakhlaq baik kepadanya adalah kepada Alloh Tuhan semesta alam. Karena Dia Yang telah menciptakan kita dan memberi rizki kepada kita, sehingga wajib bagi kita untuk bersyukur kepada Alloh, sebagaimana firman Alloh ta’ala :

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوا لِي وَ لا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingat kalian, bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian kufur ( ingkar ) kepada-Ku !” ( Qs. Al-Baqoroh : 152 )

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah ketika Tuhan kalian mengumumkan bahwa bila kalian bersyukur niscaya Aku tambah ( nikmat-Ku ) kepada kalian, namun bila kalian kufur sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” ( Qs. Ibrohim : 7 ) Read the rest of this entry »

Rabu, 02 Juni 2010

Blogger Peduli Palestina

blogger templates 3 columns | Peradaban Islam